Friday, February 7, 2014

MENU MALAM INI


: B..

Waktunya makan malam. Meja makan tlah dialasi dengan kain seputih kapas. Di atasnya, sebatang lilin wangi dan setangkai mawar merah berduri, dipakai sebagai penghias. Lalu, sejuring daging bernama hati, lengkap berdamping kesetiaan, kepasrahan, pengabdian dan ketulusan, kuhidang apik dalam sebuah piring panas. Siap untuk kau iris dan kau cabik dengan pisau dan garpu yang kutata di kedua sisinya, berbatas saat kau puas.

Ya.., mungkin rasa masakan ini tak lagi selezat silam. Sebab bumbu rahasia yang biasanya menjadi andalan, urung kububuhkan. Sudah kadaluarsa, begitu yang tertera dalam kemasannya. Telanjur basi, karena terlalu lama dibiarkan menanti. Sangat riskan untuk dikonsumsi kembali.

Bumbu itu bernama cinta, yang kini berubah rasa menjadi getir setelah manisnya lenyap ditelan sesalan masa. Bila termakan bisa mengakibatkan keracunan otak dan melumpuhkan tubuhmu, juga tubuhku, hingga lemas tak bersisa.

Sebaliknya, sebagai balasan, balok-balok kebisuan kau sajikan di dalam cawan yang biasanya kau isi dengan cairan kepalsuan. Bekunya yang dingin perlahan mencair, lebur bersama panasnya lidah yang kerap mengeluarkan kata-kata satir.

: B..

Jika saat ini yang tersisa dalam dirimu untukku hanyalah dendam dan dengki, maka simpanlah itu dalam sebuah wadah yang tertutup rapi. Agar tetap terjaga selalu kemurnian ikatan rasamu padaku, sampai mati..

Namun aku akan memilih membuang residu itu ke tong sampah, lalu membakarnya mentah-mentah. Hingga hangus menyeluruh, menjadi debu yang kumuh dan tak ingin sekalipun kusentuh..


JP, 31 Oktober 2013
..sembari meniup lilin di meja yang redup menerangi, sebelum beranjak pergi..

Monday, February 3, 2014

DI UJUNG TANJUNG

    ..sebuah karya yang tertuang saat ada di kedalaman..

Fajar menyingsing di ufuk timur. Mengintip malu-malu dengan semburat jingganya di antara gumpalan awan yang sebagian masih menghitam, berbatas garis lautan di kejauhan. Pemandangan yang sangat indah sebenarnya. Pertanda masih adanya harapan, bagi sebagian orang. Namun tidak sepertinya bagiku. Yang sudah tak bisa lagi melihat adanya perbedaan antara gelap dan terang.

Pada akhirnya, takdir mengantarku ke sini. Di tepi sebuah tanjung yang tebingnya menjorok menggantung rapuh tererosi oleh air laut. Aku kini berdiri di ujungnya. Di bawahnya terhampar karang-karang tajam yang siap menghajar dengan tusukan-tusukan maut bagi apapun atau siapapun yang nekat menjatuhkan diri ke atasnya. Sesekali saat pasang, karang-karang itu dihempas oleh gelombang yang menghantam pinggiran tebing, mengikis pijakan daratan di mana aku sekarang ini berada, menyebabkannya semakin tak berfondasi. 

***** 

Kuperiksa kakiku yang terasa pedih. Alas kakiku telah putus di tengah jalan tadi, hingga aku harus bertelanjang kaki melanjutkan perjalanan yang tak berarah ini. Pecah-pecah tapakku. Berdarah, sebagian ada yang sudah mengering dan ada yang masih membasah, diselingi nanah. Anyir semerbak menusuk hidung, memancing mualku akan diriku sendiri.

Kutatap sekujur tubuhku. Gaun panjang hitamku compang-camping dan kumal. Tak berbentuk. Menampakkan sebagian buah dadaku yang menyembul sedikit keluar dari wadahnya dan robek panjang di bagian pahaku hingga ke betis. Tujuh laki-laki yang memperkosaku semalam di atas sebuah jembatan betul-betul buas memangsaku. Tanpa ampun. Membuatku tak berkutik. Liar, bergantian mereka mendulang nikmat dari tubuhku. Sebagian ada yang memegangi tangan dan kakiku yang meronta-ronta, ada juga yang dengan rakus membekap bibirku dengan mulut busuknya yang terbiasa mengeluarkan makian sampah, membuatku ingin muntah. Yang tak kebagian peran akhirnya menjadi penonton yang terbahak-bahak bagai iblis, melihat adegan tragis seperti menyaksikan sebuah drama komedi. Tangisan dan permohonan ampunku yang tak kuasa membendung kesakitan sama sekali tak didengar oleh mereka, hingga akhirnya perih yang terasa di sekujur kulit yang memerah penuh gigitan, kemaluan dan duburku yang lecet teriritasi setelah dinodai, benar-benar menohok benteng ketahananku, memaksaku menuju puncak kepuasan di tengah nelangsa nyeri. Memuncratkan cairan serupa lahar panas yang menyembur ke salah satu muka hina mereka, diikuti oleh lengkingan lolongan panjang yang menyayat. Menempatkanku dalam nikmatnya sengsara yang sekarat. Lemas. Hilang nafas. 

***** 

Kuraba dadaku. Hampa. Isinya, segumpal daging yang bernama hati, telah kutinggalkan di jembatan tempat ketujuh laki-laki tadi menginjak-injak harga diriku. Percuma juga kubawa ke mana-mana, karena sudah tak lagi berdenyut. Mati. Sebentar kemudian juga akan membusuk, digerogoti oleh belatung. Atau mungkin kini onggokan daging itu malah sudah digondol oleh seekor anjing kurap. Lalu binatang itupun mencabik-cabik dan menelan cuilan-cuilannya tanpa perasaan, hingga habis tak bersisa setetes darahpun. Bagus seperti itu, karena rasa hatiku itupun kini telah berubah menjadi pahit bagai rasa empedu. Hasil dari racun-racun yang terhisap olehnya.

Aku termenung, mencoba berpikir. Tapi hey…, ke mana otakku…?? Hhh..., lupa aku... Tadi otak itu sudah kukeluarkan dari tempurung kepalaku saat aku kelaparan dan sudah tak punya sepeser uangpun di dompetku. Kujual ke sebuah warung Padang untuk dimasak gulai kesukaanku, lalu kuminta sepiring nasi di sana sebagai bagian dari imbalannya. Lahap kumakan nasi berlauk masakan itu. Dan cacing-cacing di perutku pun kegirangan menerima kiriman cacahan hasil kunyahan otakku yang bercampur nasi, mengisi perut laparku. Kenyang akhirnya aku terkapar, oleh asupan organ penting tubuhku sendiri. Tinggal menunggu perutku mulas, hingga otakkupun mengalir keluar dari usus besarku lewat anus dan terbuang ke jamban.

Kuseka air mata yang masih saja meleleh di wajahku yang bercampur debu. Kumuh. Kuambil sebuah kaca kecil dari kantong kosmetik dalam tasku. Wajah yang biasanya terpoles oleh warna-warni merona kini terlihat begitu kuyu. Mata yang biasanya binal, tajam dan hidup, menyihir dan menyergap siapapun yang tertangkap olehnya, kini tersisa hanya sembab dan sendu. Rambut panjangku kusut masai, seakan di dunia sudah tak ada lagi yang menjual sisir. Bibir yang biasanya terus mengumbar tawa lepas, menutupi kepiluan yang membelit, sudah bosan memakai kedoknya. Pasi, tanpa ekspresi. Mulutpun terkunci di kedalaman sebuah rahasia, antara Dia dan aku. Tafakur bercengkerama dengan suara dalam diri, mempertanyakan banyak hal yang tak pernah ada jawabnya, hingga senja menjelang dan langitpun kembali kelam. 

***** 

Angin mulai bertiup kencang. Dingin. Membuat tubuhku yang sedari tadi tak bergerak menjadi kian kaku. Seakan berdiri kokoh tak tergoyahkan. Padahal itu terjadi bukan karena aku tegar, namun karena sudah tak ada pilihan. Mau melangkah ke mana kinipun aku sudah tak tahu. Sementara hantu masa lalu terus saja nampak menakutiku, mencakar-cakar punggungku. Membelenggu pergelangan kakiku, seperti terpasung. Sumsum rasanya sudah habis disedot oleh penderitaan berkepanjangan yang rindu penyelesaian. Lalu melunglaikan tiap sendi-sendinya, pelan-pelan terduduk lenyap daya. Gontai.

Menengok aku ke belakang. Ada satu sosok berbayang di kejauhan. Gambaran siluet kesempurnaan yang kuimpikan. Tersenyum aku. Sudah waktunyakah, Tuhan...?? Hingga kau kirimkan malaikat untuk menjemputku...?? Tanganku menggapai sosok itu, namun ia hanya diam. Oowh..., ada sosok lain di sampingnya. Cantik, sepertinya seorang bidadari. Mendampinginya. Tangan mereka bergandengan. Salah sepertinya perkiraanku. Perempuan kotor sepertiku mustahil dijemput oleh malaikat. Bahkan mungkin raja setan dari kerak nerakapun tak sudi melakukannya untukku. Kalaupun mau, ia hanya akan menyentuhku saat hendak mematahkan sayap-sayap harapan yang nyaris terkembang, lalu mendorongku ke dasar jurang neraka jahanam agar bisa menemaninya kekal di sana. Terkubur bersama kekecewaan-kekecewaan paling dalam yang pernah kurasakan, berikut segala problemanya yang hingga kini tak jua tuntas terselesaikan. 

***** 

Waktu merambat makin larut dalam pelukan petang. Samar, mataku menangkap sebuah sinar berpijar dari kejauhan. Kuperhatikan dengan lebih seksama. Ternyata cahaya yang berasal dari lentera sebuah bahtera yang hendak merapat ke bibir pantai. Namun bahtera itu tak pernah bisa berlabuh, melepas jangkarnya untuk menurunkan penumpangnya ke daratan. Karang-karang terjal di sepanjang pinggir pantai ini terlalu kejam menghadang bahtera itu untuk singgah, walau hanya sebentar. Dan musnah sudah sejumput harapan untuk sekedar hanya menemukan satu manusia untuk teman bicara saja, sebab bahtera itupun putus asa dan kembali berlayar, entah hendak ke mana..

***** 

Tiba-tiba, tanah yang kupijak bergetar hebat. Bumi bergoyang. Membuatku limbung. Tanah merekah sebagian. Tak ada sesuatupun yang bisa kujadikan pegangan atau sandaran. Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan.

Tak lama kemudian, goncangan itupun terhenti. Tenang aku, untuk sementara. Ya, hanya untuk sementara. Sebab setelah itu, di kejauhan kulihat gelombang pasang besar menghadang. Bau amis mulai tercium memuakkan. Kali ini, aku tak sanggup menahan tawaku.

Selesai sudah, tamat riwayatku. Dan akupun merelakan diriku digulung ombak yang ganas menelanku, hanyut ditelan waktu. Begitu juga bahtera yang tak sempat berlabuh di pantai tadi, ikut tenggelam dihajar gelombang. Sebelum semuanya gelap, sempat aku memandang sisi di mana malaikat dan bidadarinya tadi berdiri. Ternyata merekapun tlah lenyap. Mungkin juga mereka memang tak pernah ada. Hanya halusinasiku saja. 

***** 

Inilah pucuk pencarian. Terlepasnya aku dari borgol-borgol yang mengikat sukmaku. Lega, usai sudah penantian. Terbebas dari raga yang menghambat perjalanan. Terurai dari nafsu yang selama ini mengangkanginya. Terbang, bersama jiwa-jiwa suci yang mengawalku menuju titian nirwana. Walaupun demi Tuhan, jika saja aku bisa memilih, aku tak ingin hidupku berakhir tenggelam tanpa perlawanan, juga tanpa satupun tanda bahwa aku pernah hidup di dunia, seperti ini. Tak ada nisan. Tak ada suara yang tersisa. Hanya Dia yang tahu, apa yang kumau dan terbisikkan dalam rongga dada yang kini kosong tak berpenghuni.

Dan mayatku pun tak punya makam. Moksa. Tak berbekas. Namun jiwaku tetap hidup. Abadi. Hingga akhir zaman. 

Ruang Sunyi, 25 Mei 2011
..karena hidup adalah pilihan.. 

~cerpen favorit saya dalam buku "Maaf, Kupinjam Suamimu Semalam"~

Friday, February 8, 2013

CINTA



Katamu cinta itu seperti rokok 
Terasa asam di mulut 
Jika lama tak kau hisap 
Tak seperti yang kupikir 

Cinta bagiku seperti endorphin 
Ciptakan surga di kepala 
Tak kenal luka 
Hanya tahu akan bahagia 

Karena cinta adalah rasa 
Bukan seperti rokok yang kau hisap dalam-dalam 
Lalu asapnya kau hembus pelan kemudian menghilang 
Dan puntungnya begitu saja kau buang 

Karena cinta adalah sensasi abadi 
Nyata, walau tak bisa diraba 


Kelapa Dua, 1 Februari 2010


~ Gambar diambil dari karya Billy Nasution ~